Sejarah

Pertanyaan

bani umayah I di damaskus berdiri tahun 40 H oleh muawiyah bin abu sufyan di kota illiyat yerusalem pada saat itu ali bin abi tholib masih menjadi khalifah yang sah dari pemerintahan khulafaurasyidin ,menurut pendapatmu,apakah tindakan muawiyah bin abu sufyan tersebut dapat dibenarkan ,jelaskan

1 Jawaban

  • Kelas XI
    SKI
    Muawiyah, Bani Umayyah

    Jawaban: Peristiwa "perebutan kekuasaan" tersebut merupakah kategori "siyasah" (politik), bukan "syariah" (hukum absolut), jadi jawabannya mana suka: tergantung dari sudut mana melihat.

    Penjabaran:
    Pertanyaan: "Apakah tindakan Muawiyah bin Abi Sufyan merebut kekuasaan dari Ali bin Abi Thalib dapat di benarkan"(?) mengandung dilema yang kabur serta resiko yang besar. Dikatakan demikian, sebab atas jasa Dinasti Umayyah juga Islam mengalami persebaran yang pesat serta pencapaian-pencapaian yang cemerlang, utamanya kalau kita melihat perkembangannya pada Umayyah II yang melahir beberapa cendikia muslim seperti Ibn Sina dll.

    Kalau pencapaian atau usaha daulah Umayyah yang cemerlang itu bukan patokan untuk menilai Muawiyah, kita harus meneliti secara jernih peristiiwa Perang Siffin yang dilematis itu. Saya katakan dilematis karena masing-masing, baik pihak Muawiyah atau pihak Ali memiliki versi mereka masing-masing.

    Peristiwa perang Siffin sebagai titik awal berdirinya Bani Umayyah dilatarbelakangi sikap Ali yang tidak segera menghakimi pembunuh khalifah sebelumnya, yakni khalifah Ustman. Muawiyah masih merupakan kerabat Ustman dan menjadi Gubernur Suriah pada masa pemerintahan tsb. Muawiyah pun memberontak karena sikap Ali yang dinilai tidak adil. Disebut tidak adil, karena dalam versi pendukung Muawiyah Ali tidak serius menangani pembunuhan Ustman. Dan memuncak pada perang Siffin yang dimenangi oleh Muawiyah meskipun dengan cara yang bisa dikatakan "licik". Dan karena peristiwa ini lah sampai saat ini sentimen syiah, sunni, khawarij. dll. terus berkembang.

    Kalau Ali adalah pewaris yang sah dari Khulafah Rasyidin, misalnya, apakah ada nash yang menyebutkan bahwa Ali sebagai khalifah merupakan "manusia bebas nilai" seperti halnya nabi Muhammad. Astaghfirloh. Ashadualla ilaha illallah. Saya tidak ingin meletakan posisi Ali sebagai antagonis atau citra yang tidak seharusnya. Namun harus kita sadari pula bahwa format "khulafah rosyidin" itu sekedar pengertian ijma' (kesepakatan yang populer). Maksud saya, nabi tidak pernah menunjuk secara jelas bahwa penerusnya adalah si A, lalu si B, terus si C dst. Abu Bakar dipilih secara demokratis, ada kepuasan dalam pemerintahannya. Lalu Abu Bakar menunjuk Umar sebagai pengganti. Untuk menunjuk penggantinya, Umar memilih 6 orang formatur untuk memilih penggantinya dan yang terpilih adalah Ustman. Kematian Ustman yang mendadak menempatkan Ali sebagai pengganti dengan cara pemilihan seperti pada masa Abu Bakar.

    Pertanyaan kedua muncul: Apakah pemerintahan Ali bersifat absolut? Sebelumnya Ali dan pasukannya sempat terlibat perang dengan Aisyah dan pasukannya. Aisyah adalah istri nabi.

    Kembali pada peristiwa Siffin? Apakah tindakan Muawiyah dapat dibenarkan? Jawabannya tidak mudah. Sebab pasca kematian Ustman umat islam terpecah dalam dua golongan besar. Satu mendukung Ali karena anggapan ahlul bait--bahkan ada pendapat radikal bahwa Abu Bakar, Umar dan Ustman telah melangkahi dan mencuri hak Ali sebagai pewaris yang sah. Sebaliknya, pendukung Muawiyah merasa terancam bila pemerintahan tetap dipegang Ali.

    Kesimpulannya: Apakah Muawiyah sepenuhnya bersalah? Jawabannya "wallahu a'lam bis sawaf"! Sebab terlalu banyak intriks serta kepentingan yang terjadi kala itu. 

    Menurut hemat saya, malah pertanyaan tersebut kurang relevan. Dalam peristiwa Siffin yang mengantarkan Muawiyah sebagai pendiri daulah Umayyah setelah "merampas kekuasaan" dari Ali adalah pertanyaan "apakah hikmah atau pelajaran yang bisa diambil dari konflik antara Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah bin Abi Sufyan?"

    Pertanyaan tsb lebih vital. Kalau kita mengungkit kesalahan siapa, yang ada hanyalah perpecahan, sentimen sektarian antara Syiah, Sunni, Khawarij dll, yang masing-masing punya alibi. Yang dibutuhkan islam adalah persatuan dan kekompakan. Dan ini bisa kita jadikan pelajaran juga dalam kehidupan bernegara seperti Indonesia. Seorang seperti Soekarno juga tak lepas dari kontroversi. Soeharto apalagi.

    Yang harus direnungkan juga: kenapa pemerintahan Muawiyah yang lebih populer akhirnya dibandingkan pemerintahan Ali? Tentu kita tidak bisa menyepelekan keberadaan sahabat-sahabat kala itu, "Apakah sahabat-sahabat kala itu tidak bisa memilah?" Maka dengan itu pertanyaan tersebut tidak terjawab.

    Demikian menurut hemat saya. 

Pertanyaan Lainnya